ABSWafaRiza
Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung (Pepatah Suku Baduy)
Kamis, 25 Juli 2019
Kamis, 06 September 2012
Minggu, 06 Mei 2012
Artikel Sejarah Eropa
PERANG INGGRIS - PERANCIS
Oleh
:
Anang Budi Santoso, S.Pd
Gumgum Gumilar G., S.Pd
Pengaruh reformasi melanda
Kerajaan Inggris, sehingga mendorong lahirnya pembaharuan agama dan pembaruan
politik. Inggris menjadi kerajaan Anglikan. Inggris kemudian melakukan suatu
gerakan baru untuk menguasai perdagangan dunia. Kita bisa ambil contoh pada
penguasaan Inggris di wilayah benua Amerika dengan pembentukan koloni-koloninya.
Awalnya Inggris datang ke
benua Amerika hanya untuk mengembangkan agama protestan secara bebas. Ternyata
harapan Inggris tidak terwujud, konflik agama yang dibawa dari Eropa mengembang
pula dibenua ini. Pertemuan dengan Portugis, Spanyol dan Perancis tidak dapat
dihindari terjadinya konflik dengan katolik yang dibawa oleh ketiga Negara
tersebut. Padahal pembaharuan agama di Inggris, dapat dikatakan tidak mengubah
ajaran katoliknya. Hal ini telah menimbulkan dampak timbulnya gagasan untuk
memisahkan antara Gereja dan Negara. Meskipun demikian semangat mereka untuk menyebarkan agama
Kristen tidak dapat ditinggalkan begitu saja, ini dibuktikan dengan salahsatu
contoh adanya penjelajahan ke dunia timur yang membawa semangat Mission Sacre atau Tugas Suci.
Semangat mission sacre ini dikembangkan tanpa ada
persatuan di Eropa, sehingga antara Negara penjajah saling menghancurkan.
Katolik portugis yang berada di dunia timur, tidak membendung kemauan Katolik
Spanyol dalam merebut gudang rempah-rempah. Ketamakan dan kerakusannya tidak
dapat menutupi tujuan perangnya. Spanyol dan Portugis sesama Katolik saling
meruntuhkan.
Hal yang sama dialami juga
oleh Perancis dibawah Perdana Menteri Kardinal Richelieu (1624-1642), dibantu
dengan Kerajaan Katolik Swedia, Gustavus Adol Phus, melakukan penyerangan ke
Kerajaan Katolik Jerman dan terlibat dalam Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1642).
Perang ini diakhiri dengan Perjanjian Westphalia, diakuinya Calvinisme sama
dengan Lutheranisme. Sulit bagi Kardinal untuk melakukan Perang menindas sesame
Katolik, seperti halnya dalam Perang Salib terjadi Perang Antar salib.
Setelah Kardinal berhasil
mematahkan Protestan Perancis atau Huguenot, kemudian ia beralih kepada Jerman
dan Spanyol. Di Jerman, Perancis membantu Protestannya untuk mengalahkan Raja
Katolik Jerman dari wansa Habsburg. Perancis lebih melihat dari kepentingan
politik daripada agama. Kebijakan yang demikian ini diteruskan oleh
penggantinya yaitu Kardinal Mazarin. Setelah kematiannya kemudian diteruskan
oleh Louis XIV yang menggunakan kekuasaan absolute.
Selain perang diatas, juga
terjadi peperangan akibat adanya kesamaan kepentingan antara lembaga
perdagangan, perang ini melibatkan Inggris dan Perancis yang sama-sama
berseteru untuk menguasai perdagangan. Lembaga perdagangan tersebut adalah East
Indian Company (EIC) dari Kerajaan Anglikan Inggris dan Compagnie des Indies
Orientales (CIO) dari Kerajaan Katolik Perancis yang sama ingin menguasai
India. Maka meletuslah Perang Laut Tujuh
Tahun (1755-1762), Inggris berhasil menguasai India sebelah timur, Kalkuta
(1763) dan seratus tahun kemudian sekitar tahun 1854 mereka berhasil menguasai Delhi. Tetapi sebenarnya
perang ini telah dimulai pada tahun 1748 di Lembah Sungai Ohio setelah Perancis
berusaha mendirikan jaringan koloni dari Quebec dari Utara dan Carolina di
Selatan di wilayah Amerika, tetapi perang ini dimenangkan oleh Perancis atas
dukungan masyarakat Koloni Amerika.
Perang Inggris-Perancis
diakhiri dengan adanya Perjanjian Paris (1763)
yang isinya Prancis menyerahkan seluruh daerah koloni yang pernah dikuasainya
kecuali di dua Pulau West Indies.
Sumber
:
Ahmad
Mansur Suryanegara, 1999. Amerika Menolak
Presiden Wanita. Jakarta;
Darul Falah
Nana
Supriatna, 1999. Sejarah Bangsa Amerika;
Bahan Kuliah Sejarah Amerika. Bandung;
IKIP Bandung
Nasution, Sedjarah Eropah, Bandung;
Balai Pendidikan Guru.
Kamis, 03 Mei 2012
Rabu, 02 Mei 2012
Artikel Sejarah
JULIUS
CAESAR
Oleh :
Tedy Sutardi, S.Pd
Oleh :
Tedy Sutardi, S.Pd
Diantara sekian banyak tokoh yang berpengaruh
mewarnai perjalanan perkembangan sejarah dunia nama Gaius Julius Caesar tidak
dapat dikesampingkan. Caesar memiliki tempat yang istimewa dimata para
sejarawan. Ia salah satu orang nya berpengaruh pada perkembangan Romawi
menjabat sebagai Diktator atau konsul pada Republik Romawi. Menurut Suetonius,
Julius Caesar Dilahirkan di Subura dekat Kota Roma Pada 13 juli 100 SM. Sebagai
salahsatu dari triumvirat (Triumvirat ialah rezim politik yang dikuasai oleh
tiga orang penguasa laki-laki yang mempunyai kekuasaan absolut yang kadang
diantara mereka saling klaim sebagai pemimpin tunggal) bersama crassus dan
pompei, Cesar memperluas wilayah kekuasaan Republik Romawi. Pada masanya
kekuasaaannya wilayah romawi begitu luas sampai meyebrangi samudra
atlantik, menguasai Gaul atau Galia (Prancis sekarang) dan
menyerang britania, Roma memerintah bagian terbesar dari Yunani, Siria,
Yudea, dan Afrika Utara. Caesar merupakan pimpinan politik dan militer dan
memenangkan sebuah perang saudara yang menjadikan penguasa terhebat dunia
romawi dan memulai reformasi pada masyarakat dan pemerintahan Romawi.
Ada dua kalimat seingatku yang berpengaruh pada
perkembangan sejarah Romawi yang diucapkan oleh nya, yang Pertama “Veni,
Vidi, Vici” (aku lihat, aku datang, aku menang) kalimat ini ada dalam
pesannya pada senat Romawi menggambarkan kemenangan atas Pharnaces II dari
Pontus pada pertempuran Zela kemudian diucapkan lagi saat
memimpin ekspedisi ke Mesir, yang kedua adalah “Alea Eacta Est”
artinya aku dihianati. Ini berhubungan tentang sebuah peristiwa kisah Rubicon.
Peristiwa Rubicon inilah yang menjadi titik balik Caesar menjadi seorang
pemimpin yang disegani banyak pihak. Setelah meninggalnya Crassus, Pompei
dihubungkan dengan mantan pendeta, dan ketika julius caesar pulang dari galia
ia pun mengalami kebingungan (kalau istiah sekarang “Lagi Galau” hee.....) dan
akhirnya berterus terang didepan pasukannya lalu keluar kalimat yang terkenal
dalam sejarah “Alea Eacta Est” artinya aku dihianati. Menurut
Suetonius (seorang sejarahwan Romawi) Kalimat ini diucapkan oleh Caesar pada
tanggal 10 januari 49 SM saat memimpin pasukannya untuk menyebrangi Sungai
Rubicon di Italia Utara dan memulai perang saudara dengan Pompei. Saat
dikhianati mantan pendeta, caesar sangat bingung apa mau melakukan kudeta atau
mengasingkan diri. Tempat ia mencari ilham, yaitu sungai Rubicon yang
memisahkan kota Roma dengan sekitarnya.
Keputusan di Sungai Rubicon inilah yang kemudian
menjadi salahsatu yang mempengaruhi perkembangan sejarah Republik Romawi dan
perang saudara pun tak dapat dihindari. Dan sejarah membuktikan kapasitas
kepemimpinan Caesar dalam mengatur strategi perang yang efektif dan mendapatkan
kemenangan yang menentukan. Caesar menjadi benar-benar pemimpin tunggal yang
berkuasa mutlak terhadap militer dan pemerintahan, hal inilah yang pada
akhirnya dikecam oleh Senat. Sungguh dilematis ketika Sistem kepemimpinan
absolut yang dikecam oleh senat yang berujung pada pembunuhan Caesar, malah
mengantarkan Romawi dalam perubahan bentuk dari Republik menjadi kekaisaran.
(Created By. Tedy Sutardi, S.Pd)
Langganan:
Postingan (Atom)